Monday, July 2, 2007

Nurani .. Kamu Dimana?

Saat itu hampir jam 12 siang. Matahari sepertinya sedang in the good mood. Buktinya hari itu lumayan terik. Cukup menyengat bahkan. Kalau aja Tuhan gak berbaik hati dengan menyediakan awan sebagai payung bagi hamba - hambanya, yang memang berkali - kali membasuh dahi mereka dari peluh yang seakan tidak berhenti keluar, bukan gak mungkin saya akan melihat beberapa orang tergeletak di sisi jalan, baik untuk berteduh dari panas atau memang pingsan karena tidak kuat menahan panas. Tapi jujur saya lupa apakah saat itu saya bersyukur atas lindungan awan itu. Emang dasar manusia, kalo udah dapet apa yang dimau aja, langsung lupa sama yang meluluskan permintaan. Tipikal banget.

Saya sedang menunggu kereta, ingin menuju ke Kampus. Lagi - lagi telat. Gak ngarepin on time juga. Sudah sangat terbiasa dengan ketidaktepatan waktu jadwal kereta. Gak inget kapan terakhir kali saya naik kereta dan kereta itu datang tepat waktu. Gak bisa complain juga lah, gak ngaruh soalnya. Tapi untung aja waktu itu kereta datang lumayan cepat. Kosong pula. Senangnya. Saya langsung mencari tempat duduk dekat jendela. Gak lain gak bukan cuma untuk mendapat angin sepoi dari luar jendela. Tapi lewat beberapa stasiun, kereta langsung menjadi sesak. Gak terlalu sesak sih, tapi yang pasti sudah banyak yang berdiri. Belum rela untuk ngasih tempat duduk ini ke orang - orang yang berdiri, belum ada yang pantes. Kebanyakan yang berdiri adalah anak - anak muda, walaupun ada perempuannya. So what? Perempuan itu masih muda. Masih kuat kok untuk berdiri sampe Bogor trus balik lagi ke Jakarta trus ke bogor lagi sampe sepuluh kali Bolak - Balik he..he..he...

Gak lama naik seorang Ibu - Ibu. Lumayan lah usianya. Hampir seusia Ibu saya, mungkin mudaan dikit. Saya langsung berkata dalan hati : "Aha ... We got the Winner". So, in the next 10 second, she got her self a seat. Btw, disamping saya juga duduk beberapa orang. Saya gak kenal mereka, cuma kita sebut aja si Bodoh berkepala Botak dan Si Tolol berbaju biru. Kenapa harus diberi julukan kasar ... U'll see. And U may gonna thank Me for that. Kereta bergerak lagi dan kali ini berhenti di Stasiun Tebet. Naiklah beberapa orang Ibu. Ada satu orang Ibu muda yang menggendong seorang bayi dan menggandeng seorang anak perempuan berusia 5-6 tahunan. Seorang Ibu Tua yang usianya hampir menyamai Almarhumah Nenek saya dan seorang lagi yang usianya sama seperti Nenek saya. Aneh tapi nyata, gak ada yang bergerak untuk memberikan tempat duduk bagi para Ibu itu. Kalo aja Ibu yang seusia Nenek saya itu kakinya tidak sakit, mungkin gak akan ada yang merelakan tempat duduknya bagi si Ibu. Itu pun setelah Ibu itu agak memaksa untuk duduk dan nyempil. Wajarlah, Orang si Ibu kakinya sakit, mana kuat dia berdiri. Tapi ternyata nasib si Ibu muda dan si Ibu yang hampir seusia Nenek saya tidak terlalu beruntung. Mereka tetap berdiri bahkan hingga saya turun. Dan kedua orang tadi, Si Bodoh berkepala Botak dan Si Tolol berbaju biru, tetap santai dan seakan gak perduli dengan kedua orang Ibu tersebut. BT, sumpah!! Mereka pastinya gak buta, cuma kenapa mereka gak mau ngerelain bangku mereka buat orang - orang yang membutuhkan? Apa konsep otak mereka di design sangat minimalis dan hemat ruang, sampe gak ada ruang untuk sekedar berpikir jernih dan lebih mendalam. Itu gak mungkin, secara Tuhan Maha Adil. Atau memang kebetulan aja mereka berdua adalah anggota dari perkumpulan The Idiotic People Walking on Earth? Gak ngerti, gak bisa jawab. Lagipula mereka hanya sebagian dari beberapa teman mereka yang lain. Sebut aja Si Bodoh Berkelakuan Minus, si Blo'on yang Sok Asik, Si Centil berotak Udang, Si Tampan berhati Belis, Si Tablo pengedar Gele', Si Gaul bermental Tempe dan lain - lain. Gilaa yaaa ... apa segitu banyaknya orang - orang yang makin tidak perduli sama orang lain? Kalo gitu makin berkibar dan makin tenar aja dong Perkumpulan The Idiotic People Walking On Earth, Secara membernya makin banyak pula. Sintiiing.

Tiba - tiba teringat dengan Nurani. Wah, udah lama banget saya gak menyapa Nurani, jadi malu sama diri sendiri. Setelah semua urusan di kampus selesai, saya mencoba mencari waktu dan tempat yang tepat untuk berkontemplasi; merenung. Karena bagi saya merenung adalah gerbang sekaligus jalan setapak menuju tempat Nurani berada. Saya tiba di sana, tempat Nurani bersemayam. Sepi, kosong, pengap, bahkan cukup berdebu, seperti sudah lama tidak ditempati. Saya berpikir, kemana perginya Nurani? Bila memang sudah pergi sejak lama, kenapa Nurani tidak pernah memberitahukan saya? Saya mencari ke sekeliling tempat nurani bersemayam. Nihil, gak ada hasil. Nurani gak ada disitu. Nurani pergi. Tapi kemana? Saya mencoba mencari tau dan bertanya - tanya kepada akal, kepada pikiran logis, kepada intuisi, bahkan saya bertanya kepada Nafsu. Kesemuanya mengatakan Nurani memang telah pergi. Kata mereka, terakhir kali Nurani pergi Nurani terlihat sangat payah, sangat sakit, seperti sedang sekarat. Nurani berpesan bila ada yang mencarinya, tolong katakan bahwa Nurani sedang ingin beristirahat dan mencari ketenangan. Wah, ternyata Nurani pun perlu ketenangan. Lalu Nurani juga berkata bahwa Ia sudah tidak kuat lagi untuk tinggal di tempat ini. Gak seindah dulu katanya, terlalu banyak gangguan, terlalu banyak tekanan, tidak sehat hingga Ia akhirnya jatuh sakit dan tidak berdaya. Namun tidak ada satupun yang tau kemana Nurani pergi. Saya sedih, bingung. Kemana saya harus mencari Nurani. Akhirnya saya berpikir untuk meninggalkan pesan untuk Nurani bila Ia kembali. Hanya sepucuk surat sih, tapi mudah - mudahan saja dibaca oleh Nurani dan Nurani tidak akan pergi lagi.


Surat Cinta Untuk Nurani

Nurani ... Kamu dimana? Aku datang namun kamu pergi
Nurani ... Aku sadar bahwa berkali - kali aku membuat kamu terluka, namun aku tidak pernah perduli
Berkali - kali aku berbohong sama kamu, namun gak sekalipun aku sadar dan berusaha untuk jujur
Berkali - kali juga kamu menasihati aku dengan bahasamu yang ramah dan sopan, namun aku selalu membalas dengan hardikan, cacian dan makian
Aku bilang kamu norak, kampungan, udik, gak modern, tapi kamu selalu sabar dan tersenyum
Nurani ... kamu selalu ada untuk aku, namun aku selalu tidak memperdulikan Mu
Tapi kamu selalu setia dan berharap dan menunggu aku
Aku selalu berpikir bahwa aku gak akan pernah butuh kamu
Egois, sok jago, sok macho, sok kuat, sok tegar
Padahal cengengnya bukan main

Sekarang ... aku butuh kamu Nurani. AKu ingin mencoba untuk perduli, mencoba untuk jujur, mencoba untuk mendengarkan, mencoba untuk kembali karena memang aku butuh
Bahkan, saat ini aku ingin menangis di pangkuanmu Nurani ... Aku ingin mengadu atas segala kegelisahan yang sudah lama ada dalam dada, menggantung berat di kepala
Aku butuh kamu Nurani. Tapi sekarang kamu dimana. Aku sudah mencari kamu, tapi tetap tidak ketemu
Aku bahkan berteriak ... memanggil - manggil namamu, tapi tetap tidak ada tanggapan
Tolong kembali Nurani, aku butuh kamu, banyak yang butuh kamu
Tolong kembali Nurani , tidak hanya untuk sekarang, tapi untuk selamanya


Saya baca kembali surat itu. Gombal, norak, murahan. Bodo amat, itu memang ekspresi Saya. Saya memang benar - benar butuh dengan Nurani, dan sangat sedih begitu tau bahwa Nurani sudah pergi. Terpaksa saya kembali dengan tangan hampa. Dengan hati gundah. Saya tinggalkan surat cinta saya untuk Nurani di tempat Ia sebelumnya berada.
Saya tersadar dari perenungan saya ... ada yang basah. Saya melihat ke atas. Atap gak bocor, di luar pun tidak hujan. Ternyata air tersebut datang dari mata saya. Sejenak, rasa hangat hinggap di dalam dada. Wah ... ada sedikit rasa lega, plong. Membuat saya tersenyum. Tiba - tiba saya tersadar, apakah nurani telah kembali? Apakah Ia membaca pesan saya? Saya ingin memastikan dan ingin kembali. Tapi saya berpikir, bilapun Nurani telah kembali, mungkin Nurani masih belum ingin bertemu saya. Tapi pastinya Nurani tidak akan melupakan saya. Dia pasti perduli dengan saya.

Sudah sore, dan gak terburu - buru pulang. Namun langkah kaki ini terasa begitu cepat melangkah. Terasa ringan, enteng. Saya hanya tersenyum. Gak tau kenapa, tapi sepertinya ini pertanda bahwa nurani - paling tidak - sempat singgah sebentar. Senangnya. Nurani ... jangan pergi lagi yaa.

3 comments:

Anonymous said...

this is the 1st time i visit ur blog... same as the title "pemaknaan", the content is full of makna... good content =]

www.friendster.com/decide

Anonymous said...

bo..kepanjangan, gw lagi males bacanya. tapi bagus juga seeehh..

Nourish Tea said...

.......
Nurani ... Aku sadar bahwa berkali - kali aku membuat kamu terluka, namun aku tidak pernah perduli
Berkali - kali aku berbohong sama kamu, namun gak sekalipun aku sadar dan berusaha untuk jujur
Berkali - kali juga kamu menasihati aku dengan bahasamu yang ramah dan sopan, namun aku selalu membalas dengan hardikan, cacian dan makian
Aku bilang kamu norak, kampungan, udik, gak modern, tapi kamu selalu sabar dan tersenyum
Nurani ... kamu selalu ada untuk aku, namun aku selalu tidak memperdulikan Mu
....


tiba2 ingatku tersapa kembali kesuatu bila, aduuuhhh...mengapa bisa ya? tulisan yg mirip pernah terlantun dalam pikiran dan dinyanyikan oleh goretan orat-oret puisi. Hampir bermakna tak lebih dari protes hati yang kebas krn lama di sakiti oleh diri... dan tulisan itupun tersia2kan begitu saja. skrg, entah berada di mana...

Intinya: GUE NYESEL DULU GA PERNAH NGEDOKUMENTASIKAN KARYA2 GUEEE!!!!!!