Pada akhirnya, setiap orang akan berakhir merentas hidupnya sendiri. Tidak lagi dituntun, tidak lagi dikawal. Mungkin - tapi mungkin juga tidak - ada yang memperhatikan dari jauh dan menolong bila memang kita dianggap benar - benar membutuhkan bantuan. Tetapi, tidak jarang akhirnya kita harus berjalan sendiri. Benar - benar sendiri. Jangan lagi mengharapkan bantuan, dorongan, tuntunan, contoh, bimbingan ataupun dukungan dari orang lain. Cukup diri sendiri, tidak lebih.
Lelaki; Figur yang selalu dielukkan sebagai sosok yang kuat dan harus kuat karena diproyeksikan sebagai pelindung keluarga dan dirinya sendiri. Tidak salah memang. Namun persepsi tersebut sering menyimpang ketika lelaki diibaratkan seperti batu yang tidak lagi perlu orang lain di sekitarnya, karena dia dianggap mampu berdiri sendiri. Padahal kemandirian tidak selalu dan tidak pernah boleh diartikan sebagai kesendirian. Karena manusia - pria atau wanita - pada dasarnya mahluk sosial. Pasti mereka butuh kehadiran orang lain di sekitar mereka. Bila Ia ditinggalkan sendiri, maka akan terjadi pernyimpangan pada pribadinya. Namun penyimpangan yang terjadi tidak jarang dijadikan pembenaran dan bukti atas kelaki-lakiannya. Padahal lelaki tidak harus bersikap kasar, brutal dan beringas hanya untuk sekedar dibilang jantan dan macho.
Banyak lelaki yang pada akhirnya kelelahan dan mencoba keluar dari kekangan opini yang mengikat terlalu kencang dan membuat sesak nafas hidup mereka. Mereka protes, berkelahi, bergulat, sengit, untuk melawan derasnya arus pemikiran yang sudah selama berabad - abad mengalir deras dan memaksa mereka untuk mengarungi sungai budaya yang membawa mereka ke muara yang sudah dapat ditebak akhirannya. Pun, tidak semua nilai salah. Tidak semuanya mengintimidasi. Tetapi kurangnya toleransi, tidak adanya pengertian membuat kebanyakan orang menanggapi dengan dengan cara yang salah, bahkan cenderung berlebihan. Akhirnya mereka memilih untuk beralih ke muara yang lain. Sebuah muara alternatif yang selalu dianggap salah. Atau mungkin memang salah. Namun kenyamanan ada disana. Mereka kerasan didalamnya. Dan sekarang mereka membuat arus baru untuk mengajak lainnya ke muara mereka. Salahkan? Salah siapa?
Mungkin ini hanya sebuah prosa yang berisi pembenaran atas suatu nilai yang dianggap devian. Atau pembelaan atas suatu pilihan yang tidak seragam. Walaupun banyak orang berabggapan pilihan tersebut mengerikan, namun bagi mereka pilihan itu adalah nirwana. Taman Firdaus yang dikelilingi telaga berair jernih dan berhawa sejuk. Mereka serasa terbang seperti para malaikat bersayap. Terbang di dalam nirwana dan membuat mereka nyaris berada di dalam surga. Nyaris, karena ternyata di angkasa nirwana banyak panah tajam berujung api dan racun melesat ke arah mereka. Merekalah tergetnya. Lalu mereka melindungi diri dengan melilitkan sayap ke seluruh tubuh. Namun bagaimanapun caranya, mereka tetap terluka. Ada yang gugur, ada yang menyerah, ada yang mencoba untuk bertahan, bahkan melawan. Walau mereka sadar itu akan sia - sia. Karena terlalu banyak jumlah panah buruk sangka yang dilapisi racun kebencian lalu disulut dengan api amarah dan dilepaskan dengan semangat membabi buta.
Katakanlah mereka salah. Atau memang mereka salah. Tetapi apakah caranya harus seperti itu? Bila saja yang datang adalah para Bidadari berparas sejuk, bertatapan teduh dengan tutur yang lembut dan senyum yang menenangkan, maka situasinya pasti akan berbeda. Pasti, karena bidadari berbicara dengan hati, bukan dengan emosi. Para bidadari senang berdiskusi dan senantiasa sabar dalam menanti dan sabar dalam memberi. Menanti mereka untuk kembali, memberi nasihat tanpa membuat sakit hati. Ah ... bila saja jumlah bidadari cukup berlimpah, maka mereka pasti akan menyerah dengan sukarela. Karena bagaimanapun juga hati tidak pernah berdusta. Salah adalah salah, bagaimanapun nikmatnya terasa.
Ini dunia nyata. Pada akhirnya hanya kita yang harus berusaha untuk perubahan. Namun tidak jarang diri mengharap bantuan, bahkan merintih kesakitan. Kesakitan karena tekanan, kesakitan karena direndahkan, kesakitan karena sendirian. Mungkin sudah saatnya kita kembali mendongak ke wajah Tuhan.
Tuesday, July 31, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment