Monday, September 24, 2007

Kisi Kisi Sisi

Sudah semakin jelas saja ... sekuat apapun usaha untuk memaklumi, mengerti, bahkan berempati, tetap tidak bisa untuk merubah kenyataan yang ada. Memang sebaiknya berhenti menjadi naif, karena tidak akan mengubah paham. Bahkan bisa membuat salah paham. Status adalah acuan awal kebanyakan orang ketika mengenal seseorang. Bahkan Ia selalu terlintas ketika kita melihat orang lain, walau sekilas. Statuslah yang membuat perbedaan perlakuan, perbedaan tanggapan, perbedaan perhatian hingga perbedaan kesempatan. Suatu hal yang harusnya bisa dan sangat boleh untuk dirasakan dan didapatkan serta diberikan secara adil dan rata. Memang Manusia bukan Malaikat, Dewa apalagi Tuhan. Wajar jika manusia tidak bisa berada di tengah. Namun paling tidak mereka punya pilihan untuk bersikap. Sayang, lebih banyak yang memilih untuk bersikap memihak; memihak pada yang berstatus lebih elit, lebih mapan, lebih populer. Ada pamrih tersembunyi di balik sikap ramah dan senyum manis; harapan agar bisa masuk ke dalam lingkaran orang orang pujaan. Sangat palsu, tak ubahnya badut dengan make up tebalnya yang selalu saja dianggap lucu. Padahal wajah aslinya terletak di balik senyum lebar dan baju gombrongnya. Siapa yang tau ekspresi asli si Badut? Siapa yang bisa menebak ukuran tubuh si Badut?

Lebih sedih, pandangan sinis yang diiringi sikap cemooh dan ucapan hardik adalah paket lengkap yang dialamatkan bagi para pemilik status dengan kondisi cukup dan kurang. Seolah mereka adalah kelompok kasta rendahan, penyakitan dan parasit bagi orang di sekitarnya. Padahal usaha keras dan banting tulang adalah kegiatan mereka sehari hari. Mungkin kebanyakan dari mereka lebih banyak menggunakan otot daripada otak, tetapi bukan berarti mereka tidak pernah berpikir. Picik ternyata lebih sering datang dan bersarang pada orang orang yang bertitel dan berpendidikan. Ironi sekaligus refleksi betapa moral telah di peti es kan oleh banyak pribadi. Walaupun tiap pribadi masih punya hati, tetapi hati telah ditempatkan di balik jeruji iri, dengki dan serakah. Kepalsuan adalah wajah populer, dimana basa basi dan formalitas harus diutamakan. Curang adalah tindak profesional, karena sangat sah untuk berhasil dengan segala cara.

Tidak adil bila saya memukul rata semua orang dari sudut pandang ini. Itu pikiran yang sangat dangkal. Namun sekedar ekspresi kesal yang terlalu memuncak atas sikap kebanyakan. Mungkin saya yang sudah jauh dari orang orang yang masih menggunakan wajah asli dan berprinsip pada moral. Mungkin Saya terdampar di antara orang orang palsu dan picik, bahkan licik. Mungkin tanpa sadar saya sudah menjadi seperti mereka. Ataukah memang ini wajah kenyataan? Mungkin ini adalah fase yang harus dilalui oleh tiap individu, semacam tahapan sebelum bisa melanjutkan ke tahapan yang lebih serius. Untuk tetap Netral adalah sulit. Untuk bisa mengubah mereka menjadi baik jauh lebh sulit. Namun, itu ternyata tuntutan pada tiap manusia. Apakah kita cukup peduli dan mau beraksi? Pertanyaan yang bila ditujukan ke saya akan saya respon dengan diam atau saya alihkan pada topik yang lain. Berat memang, namun mulia telah dijanjikan pada manusia yang peduli dan beraksi.

Macam macam bentuk usaha ... ini hanya salah satu bentuk yang termudah dan terletak di urutan paling bawah. Namun mungkin saja bisa dijadikan penambah wacana. Terlalu Naif bila berharap Dunia akan bebas dari orang orang palsu nan picik dan licik, namun paling tidak kita bisa berusaha untuk tidak terbawa dan terwarnai. Lebih baik lagi, kita memberi warna. Warna warni kebenaran yang dilukis dengan kuas moral, dihias dengan malu dan dibingkai dengan santun. Semoga ....