Friday, November 30, 2007

Bila Saja ...

Malam ini benar benar dingin. Cukup dingin hingga terasa menusuk tulang. Tapi aku tidak berharap akan kehangatan. Malah, aku ingin dingin tetap tinggal dan temani aku. Hati ini sedang luka ... bukan hal yang baru. Aku hanya berpikir dingin bisa menandingi nyerinya hati karena angan yang sepertinya kembali pupus dan harapan kembali hampa.

Berat kuseret langkahku ... menuju kemana aku pun tak tau. Pulang ... saat ini rumah hanya sekedar bangunan pelindung, tidak lebih. It's just a House, not a Home. Not anymore ... Maybe it will be Home again someday. But surely not now ... nor tommorow. Not for sometime near. Saat ini aku terus berusaha mencoba untuk menerka nerka siapa yang akan menjadi peredam gundah, cahaya hati. Siapa yang akan memberi hangat pada jiwa yang tersudut di dalam dinginnya sepi. Melow .... Cengeng .... Picisan ... Norak ... Tapi aku Jujur.

Sudahlah, angan tidak boleh diperlakukan seperti nyata. Angan hanyalah acuan dan pemicu bagi harap yang terus menyemangati jiwa untuk maju dan meraih mimpi. Bila angan tidak teraih, maafkan takdir. Wajar bila sedih ... tak apa bila kecewa. Namun jangan terlalu lama. Biarkan saja semua berjalan apa adanya. Ada kala dimana kita memang harus membiarkan semua berjalan seperti yang telah digariskan ... dan kita tidak perlu bahkan tidak boleh untuk turut campur. Sadarlah ... Inilah hidup dan segala peraturannya. Lepaskan, angan bukan beban. Maka jangan jadikan itu beban. Tidak meraih angan bukan berarti kalah atau pecundang. Mungkin waktunya saja yang belum tepat ... angan pun perlu waktu. Semua perlu waktu. Walau terdengar klise namun sabar adalah kunci. Jadikan sabar pijakan.

Aku tetap muram .... hati tetap temaram. Mungkin karena angan dan harap yang dimiliki sudah terlalu lama mendekam dan tidak juga berubah jadi nyata. Bila memang tidak akan pernah jadi nyata, apa salah untuk tetap berharap dan berusaha? Takdir bisa diubah kan? Ataukah aku memang harus jalani garis yang sudah terbuat tanpa sebelumnya ada kompromi dan mufakat? Saat ini aku terduduk dan mencoba untuk kembali berkhayal akan hal yang sama, akan angan yang sama, akan orang yang sama. Haruskah aku menangis ...? Salahkah bila aku menangis hanya karena aku lelaki? Urusan hati tidak bisa dipukul rata, jadi aku tak peduli.

Bila saja bintang jatuh bisa mengabulkan harap, maka aku berharap ... pertemukan aku dengan kekasihku.

Saat ini, lagi lagi aku sedih ....

Tuesday, November 6, 2007

Catatan Perasaan di Kala Hujan

Takdir ... banyak yang menganggap bahwa itu adalah sebaris garis lurus tanpa lengkung dan sudut dimana kita berjalan di atasnya. Pilihan adalah nihil, perubahan itu mustahil. Takdir populer dengan pasti dan harusnya. Tidak kompromi dan tidak basa basi.

Hari ini hujan ... tiap tetes airnya membuatku merenung tentang takdir. Hembusan angin dingin membawa aku ke alam pikir untuk mencari satu kesimpulan. Sebuah hipotesa dari banyaknya teori yang diutarakan orang mengenai takdir. Heran ... mengapa lembab udara malah membuat aku ingin terawangi takdir? Mungkin perpaduan sejuk, gelap dan semilir sangat kondusif menghadirkan melankolis ke dalam kepalaku. Atau mungkin karena situasi diri akhir akhir ini yang terasa lepas dari pasti. Gantung ... di ayun oleh tali galau yang kian erat. Kucoba sekuat tenaga mencari harap, agar bisa terlepas dari galau. Tapi ... aku belum menemukan harap. Lelah juga lama lama ... dan aku pun terduduk hingga akhirnya rebah dan tertidur. Masih diikat oleh tali galau. Bahkan sekarang aku mulai diselimuti oleh kabut ragu. Atau mungkin itu hanyalah fatamorgana yang diciptakan oleh parasit putus asa yang perlahan namun pasti datang dan bersarang di hati juga pikiranku.

Masih hujan ... kelas pun tidak ada tanda tanda untuk bubar. Sang dosen masih terlihat semangat untuk berbicara di depan kelas sebagai moderator dari teman teman lain yang sedang presentasi. Banyak yang bertanya, walau menurutku topiknya tidak terlalu menarik. Bukan salah mereka, tetapi hasil undian yang ditulis di kertas, dimasukan ke dalam sedotan, diamsukan lagi ke dalam gelas kosong yang di atasnya ditutupi kertas yang dibolongi. Seperti arisan, kelompok itu mengambil kertas yang dilapisi sedotan itu untuk melihat tema mereka, dan itulah yang mereka dapat. Topik yang membosankan. Entah karena aku tidak terlalu suka atau memang aku tidak menyimak. Tapi yang pasti ada 1 orang teman yang sangat mencari perhatian dosen. Mencoba bermain aman sepertinya. Aku terdiam dan berpikir. Salah satu cara untuk merubah takdirkah? Karena dia itu mengulang mata kuliah yang ini. Takdir ... kenapa topik itu yang muncul di kepalaku? Seperti orang yang tidak bersyukur saja. Tapi apa salah kalau berkesah karena lelah?

Sudah sudah ... usaha adalah cara efektif untuk memanggil dan mengundang harap untuk datang. Semakin besar usaha, maka semakin besar harap. Agak berbanding lurus, bukannya pasti. Walaupun kemungkinan besarnya seperti itu. Namun tidak selalu. Pun, ada hal yang bisa menguatkan harap untuk makin cepat datang. Do'a. Sayang ... Tuhan saat ini sedang aku kebelakangkan. Suatu kebodohan terlalu tolol. Tapi ternyata aku bukan satu satunya orang yang melakukan kebodohan macam itu. Bukan tak ingin kembali, hanya saja ada malu dan sungkan menutupi hidayah dan cahaya Tuhan yang diperuntukkan pada hati.

Masih saja hujan. Ku ambil HP yang Aku selipkan di dalam kantong celana. Jam 8 kurang. Masih lama sekali kita akan dibubarkan. Di dalam kelas aku mulai tidak merasa nyaman. Bukan karena aku duduk di pojokan, sendirian dan diasingkan. Aku malah duduk di barisan tengah agak ke belakang, dan di apit oleh beberapa teman di kanan dan di kiri Ku. Namun, saat ini aku sedang ingin sendiri, tidak lebih. Berharap bisa mengadu kepada yang mau mendengar, namun sepertinya tidak ada.

Akhirnya kelas bubar. Hujan juga mulai reda. Aku mulai berpikir untuk menghubungi Ibu, karena Ibu sedang berada di rumah Bude, kakak Ibu. Ibu meminta aku untuk kesana untuk menjemput dia. Namun sewaktu Ibu menghubungi aku, percakapan terhenti. Baterai Ku habis. Dua buah HP yang aku miliki semuan baterainya habis. Apa ini juga bagian takdir? Atau hanya kecerobohan karena tidak memprediksikan situasi yang mungkin hadir. Hasilnya ketika aku menghubungi Bude, sepupuku yang mengangkat telefon Ku. Dia tidak marah, namun aku merasakan ada kekesalan karena baru menghubungi setelah sekian lama. Selain juga karena Ibu sudah pulang dengan Taksi seorang diri ke rumah yang jaraknya jauh dari rumah Bude.

Aku mencoba merubah takdir, namun sulit. Ataukah memang tidak bisa lagi diubah? Atau aku telah membuat pilihan salah? Ingin rasanya terbang ke angkasa dengan sayap merentang lebar. Seperti Malaikat. Namun, saat ini aku hanya merenung dan mencoba mencari privasi dalam sendiri. Khayal, tolong temani aku. Sepi, tolong lindungi aku. Sedih, kamu boleh lagi bertamu. Air mata, silahkan kau basahkan pipiku .... temani tetesan hujan yang mulai lagi menyapa bumi.