Tuesday, July 31, 2007

Lelaki di Barisan Sakit Hati

Pada akhirnya, setiap orang akan berakhir merentas hidupnya sendiri. Tidak lagi dituntun, tidak lagi dikawal. Mungkin - tapi mungkin juga tidak - ada yang memperhatikan dari jauh dan menolong bila memang kita dianggap benar - benar membutuhkan bantuan. Tetapi, tidak jarang akhirnya kita harus berjalan sendiri. Benar - benar sendiri. Jangan lagi mengharapkan bantuan, dorongan, tuntunan, contoh, bimbingan ataupun dukungan dari orang lain. Cukup diri sendiri, tidak lebih.

Lelaki; Figur yang selalu dielukkan sebagai sosok yang kuat dan harus kuat karena diproyeksikan sebagai pelindung keluarga dan dirinya sendiri. Tidak salah memang. Namun persepsi tersebut sering menyimpang ketika lelaki diibaratkan seperti batu yang tidak lagi perlu orang lain di sekitarnya, karena dia dianggap mampu berdiri sendiri. Padahal kemandirian tidak selalu dan tidak pernah boleh diartikan sebagai kesendirian. Karena manusia - pria atau wanita - pada dasarnya mahluk sosial. Pasti mereka butuh kehadiran orang lain di sekitar mereka. Bila Ia ditinggalkan sendiri, maka akan terjadi pernyimpangan pada pribadinya. Namun penyimpangan yang terjadi tidak jarang dijadikan pembenaran dan bukti atas kelaki-lakiannya. Padahal lelaki tidak harus bersikap kasar, brutal dan beringas hanya untuk sekedar dibilang jantan dan macho.

Banyak lelaki yang pada akhirnya kelelahan dan mencoba keluar dari kekangan opini yang mengikat terlalu kencang dan membuat sesak nafas hidup mereka. Mereka protes, berkelahi, bergulat, sengit, untuk melawan derasnya arus pemikiran yang sudah selama berabad - abad mengalir deras dan memaksa mereka untuk mengarungi sungai budaya yang membawa mereka ke muara yang sudah dapat ditebak akhirannya. Pun, tidak semua nilai salah. Tidak semuanya mengintimidasi. Tetapi kurangnya toleransi, tidak adanya pengertian membuat kebanyakan orang menanggapi dengan dengan cara yang salah, bahkan cenderung berlebihan. Akhirnya mereka memilih untuk beralih ke muara yang lain. Sebuah muara alternatif yang selalu dianggap salah. Atau mungkin memang salah. Namun kenyamanan ada disana. Mereka kerasan didalamnya. Dan sekarang mereka membuat arus baru untuk mengajak lainnya ke muara mereka. Salahkan? Salah siapa?

Mungkin ini hanya sebuah prosa yang berisi pembenaran atas suatu nilai yang dianggap devian. Atau pembelaan atas suatu pilihan yang tidak seragam. Walaupun banyak orang berabggapan pilihan tersebut mengerikan, namun bagi mereka pilihan itu adalah nirwana. Taman Firdaus yang dikelilingi telaga berair jernih dan berhawa sejuk. Mereka serasa terbang seperti para malaikat bersayap. Terbang di dalam nirwana dan membuat mereka nyaris berada di dalam surga. Nyaris, karena ternyata di angkasa nirwana banyak panah tajam berujung api dan racun melesat ke arah mereka. Merekalah tergetnya. Lalu mereka melindungi diri dengan melilitkan sayap ke seluruh tubuh. Namun bagaimanapun caranya, mereka tetap terluka. Ada yang gugur, ada yang menyerah, ada yang mencoba untuk bertahan, bahkan melawan. Walau mereka sadar itu akan sia - sia. Karena terlalu banyak jumlah panah buruk sangka yang dilapisi racun kebencian lalu disulut dengan api amarah dan dilepaskan dengan semangat membabi buta.

Katakanlah mereka salah. Atau memang mereka salah. Tetapi apakah caranya harus seperti itu? Bila saja yang datang adalah para Bidadari berparas sejuk, bertatapan teduh dengan tutur yang lembut dan senyum yang menenangkan, maka situasinya pasti akan berbeda. Pasti, karena bidadari berbicara dengan hati, bukan dengan emosi. Para bidadari senang berdiskusi dan senantiasa sabar dalam menanti dan sabar dalam memberi. Menanti mereka untuk kembali, memberi nasihat tanpa membuat sakit hati. Ah ... bila saja jumlah bidadari cukup berlimpah, maka mereka pasti akan menyerah dengan sukarela. Karena bagaimanapun juga hati tidak pernah berdusta. Salah adalah salah, bagaimanapun nikmatnya terasa.

Ini dunia nyata. Pada akhirnya hanya kita yang harus berusaha untuk perubahan. Namun tidak jarang diri mengharap bantuan, bahkan merintih kesakitan. Kesakitan karena tekanan, kesakitan karena direndahkan, kesakitan karena sendirian. Mungkin sudah saatnya kita kembali mendongak ke wajah Tuhan.

Wednesday, July 25, 2007

I Love U but I Can Not Marry U ...

Woooowww .... satu statement yang dalem tapi Absudrd. At least I use to think that it was absurd. How can U love someone but U'r not Marry them? How absurd can that be? Well ma friend, before we get to the bottom of it, do pay attention of these two cases.

Case Number 1
Saya ada teman yang sudah pacaran selama 9 tahun. Rencananya dia akan menikah tahun ini. Beberapa minggu yang lalu saya OL dengan dia. Sebut aja dia MR. A. I thought I was gonna have a good laugh with him. Instead, I got a bad news. Dia gak jadi nikah tahun ini. Dan begitu saya tanya kenapa, well pastinya, mereka putus. Saya pikir sang Cewek lah yang mutusin si Mr. A, ternyata malah sebaliknya. Saya cukup tau temen saya. So it is come to my surprise kalo keadaannya seperti itu. Ketika saya tanya kenapa, jawabannya benar - benar di luar dugaan. Dia bilang sebelum memutuskan untuk menikah, dia jadi rajin sholat dan sholat malam. Ceritanya sih minta petunjuk sekaligus harapan dia bisa jadi suami yang baik, Ayah yang baik. That kinda stuff. Ternyata setelah dia sholat dan sholat malam untuk minta petunjuk, dia ngerasa kalo Sang Cewek yang udah dipacarin selama 9 tahun ini bukanlah orang yang tepat untuk dia jadiin pendamping hidup. Dengan kata lain, pacar dia bukan jodoh dia. but after 9 whole long years. C'mon dong man ... gak masuk logika gue deh. Was ... But now ...

Case Number 2
Sepupu perempuan saya yang sudah menikah menceritakan tentang temannya yang sudah 10 tahun pacaran tapi akhirnya mereka gak nikah. Sebenernya sih dari dia akhirnya saya punya paham tentang sebuah persepsi baru "I Love U but I Can Not Marry U". Tapi itu nanti aja. Anyway, Temen Sepupu perempuan saya, let just call them Mr.B and Mrs.C, udah pacaran selama 10 tahun. Tapi ternyata si Mr.B ini seorang "Player" - another word for PlayBoy. Dia sering banget ngedate sama cewek lain, bahkan - menurut sepupu saya - sampe kissing segala. Or even more? Dunno. Ternyata eh ternyata, Si Mrs.C udah tau kebiasaan buruk si Mr.B and sering nge gap si Mr.B ini berkali - kali dengan cewek lain. Si Mr.B sering minta maaf dan sering dimaafin sama si Mrs.C, tapi emang dasar "Player" dia tetep aja gak kapok.
Saya sempet menyela cerita sepupu perempuan saya dengan bilang "Kenapa gak dia tinggalin aja si cowok, secara cowoknya dah kurang ajar kayak gitu?" Dan sepupu saya menjawab dengan jawaban simpe " Si Ceweknya cinta sama cowoknya?" Dengan polos dan naifnya saya bilang "Iya gitu? Sampe segitunya? Kok kesannya si Cewek bodoh banget yaa? " Lalu sepupu perempuan saya menjawab pertanyaan saya dengan jawaban yang membuat saya malas untuk menanggapinya " Yaa emang gitu. Susah deh dijelasin, Kamu belam pernah pacaran kan? Mangkanya gih sana cari pacar, nanti juga bakalan ngerti." Damn!!
Lanjut dengan Si Mr.B dan si Mrs.C - sampai setelah 10 tahun pacaran dan keluarga masing - masing juga sudah mengenal mereka berdua dengan baik, akhirnya keluarga mulai menanyakan kapan mereka akan menikah. Mrs.C lalu mengutarakan hal tersebut ke Mr.B. Dia bilang bahwa Mrs.C ingin menikah dengan Mr.B asalkan Mr.B mau berhenti dari kebiasaan buruknya. Mr.B pun berjanji ke Mrs. C bahwa dia akan berhenti. Tapi ... Well, U can guess lah, Mr.B ngelanggar lagi janjinya. Dengan sedih akhirnya Mrs.C memutuskan untuk menikahi orang lain. Setelah Mrs.C menikah, Mr.b jadi frustasi n akhirnya mulai bisa berhenti menjadi seorang "Player". Short story, si Mr.B sekarang pun sudah menikah n sudah ada keluarga. Dan ternyata mereka berdua masih lumayan sering ketemu untuk sekedar makan bareng atau apapun. Lalu sepupu perempuan sayan bilang bahwa si Mrs.C masih dan akan tetap cinta kepada Si Mr.B, walaupun dia menikahi lelaki lain yang saat ini menjadi suaminya.

Owkay ... panjang yaa ceritanya. Pada saat itu saya jadi berdebat dengan sepupu perempuan saya. Saya masih dengan persepsi saya, yaitu " Kalo orang pacaran dah lama dan memang cinta, trus kenapa mereka gak nikah?" Dan sepupu perempuan saya - yang memang sudah menikah dan memiliki satu anak perempuan yang lucu - bilang " Kita bisa aja pacara sama Drug user. Kita bisa aja pacaran sama orang yang kasar. Kita bahkan bisa aja pacaran sama pembunuh. Tapi kalo persepsinya nikah, membangun keluarga, visinyda udah beda. Mungkin banget kita masih cinta sama mantan pacar yang gak dinikahin, tapi kita gak bisa ngejadiin dia suami ato istri karena ada kekhawatiran gak akan bisa tercipta keluarga yang harmonis. Nikah itu kan gak cuma nyatuin dua orang aja, tapi juga dua keluarga."

Wow .... suatu jawaban yang sepertinya saya cari - cari selama ini. Dan akhirnya saya bisa menerima fakta bahwa Cinta tak Harus memiliki. Walaupun mungkin akan sangat sakit. Dalam kasus saya, mungkin itu juga sebabnya kenapa saya sangat sulit mendapatkan pacar. Karena persepsi saya adalah mencari calon istri. Sehingga dia harus memenuhi standar tertentu yang kalo ditelaah lagi, sangat banyak dan sangat tinggi. Wajar, calon istri. Tapi mungkin akan berbeda kalo saya pake persepsi Cari Pacar.

He..he.. Jadi Curhat colongan nih. Sebenarnya tujuan saya posting topik ini adalah untuk membantu orang - orang yang mungkin pernah atau masih mengalami kebingungan seperti saya dulu. Mungkin aja artikel ini bisa sedikit membantu. Emang bener, jodoh gak akan kemana. Jodoh emang di tangan Tuhan. Tapi kalo mereka emang jodoh, kenapa harus ada perceraian? Duuuh ... ribet lagi ngejawabnya. Yang ini saya masih gak tau harus gimana menjawabnya. Kalo ada yang bisa bantu sih monggo ...

Yaa udahlah ... Buat para high quality jomblo, Be patient Ma fellow, the Jodoh is out there. Apa siiiih !!!

Monday, July 2, 2007

Nurani .. Kamu Dimana?

Saat itu hampir jam 12 siang. Matahari sepertinya sedang in the good mood. Buktinya hari itu lumayan terik. Cukup menyengat bahkan. Kalau aja Tuhan gak berbaik hati dengan menyediakan awan sebagai payung bagi hamba - hambanya, yang memang berkali - kali membasuh dahi mereka dari peluh yang seakan tidak berhenti keluar, bukan gak mungkin saya akan melihat beberapa orang tergeletak di sisi jalan, baik untuk berteduh dari panas atau memang pingsan karena tidak kuat menahan panas. Tapi jujur saya lupa apakah saat itu saya bersyukur atas lindungan awan itu. Emang dasar manusia, kalo udah dapet apa yang dimau aja, langsung lupa sama yang meluluskan permintaan. Tipikal banget.

Saya sedang menunggu kereta, ingin menuju ke Kampus. Lagi - lagi telat. Gak ngarepin on time juga. Sudah sangat terbiasa dengan ketidaktepatan waktu jadwal kereta. Gak inget kapan terakhir kali saya naik kereta dan kereta itu datang tepat waktu. Gak bisa complain juga lah, gak ngaruh soalnya. Tapi untung aja waktu itu kereta datang lumayan cepat. Kosong pula. Senangnya. Saya langsung mencari tempat duduk dekat jendela. Gak lain gak bukan cuma untuk mendapat angin sepoi dari luar jendela. Tapi lewat beberapa stasiun, kereta langsung menjadi sesak. Gak terlalu sesak sih, tapi yang pasti sudah banyak yang berdiri. Belum rela untuk ngasih tempat duduk ini ke orang - orang yang berdiri, belum ada yang pantes. Kebanyakan yang berdiri adalah anak - anak muda, walaupun ada perempuannya. So what? Perempuan itu masih muda. Masih kuat kok untuk berdiri sampe Bogor trus balik lagi ke Jakarta trus ke bogor lagi sampe sepuluh kali Bolak - Balik he..he..he...

Gak lama naik seorang Ibu - Ibu. Lumayan lah usianya. Hampir seusia Ibu saya, mungkin mudaan dikit. Saya langsung berkata dalan hati : "Aha ... We got the Winner". So, in the next 10 second, she got her self a seat. Btw, disamping saya juga duduk beberapa orang. Saya gak kenal mereka, cuma kita sebut aja si Bodoh berkepala Botak dan Si Tolol berbaju biru. Kenapa harus diberi julukan kasar ... U'll see. And U may gonna thank Me for that. Kereta bergerak lagi dan kali ini berhenti di Stasiun Tebet. Naiklah beberapa orang Ibu. Ada satu orang Ibu muda yang menggendong seorang bayi dan menggandeng seorang anak perempuan berusia 5-6 tahunan. Seorang Ibu Tua yang usianya hampir menyamai Almarhumah Nenek saya dan seorang lagi yang usianya sama seperti Nenek saya. Aneh tapi nyata, gak ada yang bergerak untuk memberikan tempat duduk bagi para Ibu itu. Kalo aja Ibu yang seusia Nenek saya itu kakinya tidak sakit, mungkin gak akan ada yang merelakan tempat duduknya bagi si Ibu. Itu pun setelah Ibu itu agak memaksa untuk duduk dan nyempil. Wajarlah, Orang si Ibu kakinya sakit, mana kuat dia berdiri. Tapi ternyata nasib si Ibu muda dan si Ibu yang hampir seusia Nenek saya tidak terlalu beruntung. Mereka tetap berdiri bahkan hingga saya turun. Dan kedua orang tadi, Si Bodoh berkepala Botak dan Si Tolol berbaju biru, tetap santai dan seakan gak perduli dengan kedua orang Ibu tersebut. BT, sumpah!! Mereka pastinya gak buta, cuma kenapa mereka gak mau ngerelain bangku mereka buat orang - orang yang membutuhkan? Apa konsep otak mereka di design sangat minimalis dan hemat ruang, sampe gak ada ruang untuk sekedar berpikir jernih dan lebih mendalam. Itu gak mungkin, secara Tuhan Maha Adil. Atau memang kebetulan aja mereka berdua adalah anggota dari perkumpulan The Idiotic People Walking on Earth? Gak ngerti, gak bisa jawab. Lagipula mereka hanya sebagian dari beberapa teman mereka yang lain. Sebut aja Si Bodoh Berkelakuan Minus, si Blo'on yang Sok Asik, Si Centil berotak Udang, Si Tampan berhati Belis, Si Tablo pengedar Gele', Si Gaul bermental Tempe dan lain - lain. Gilaa yaaa ... apa segitu banyaknya orang - orang yang makin tidak perduli sama orang lain? Kalo gitu makin berkibar dan makin tenar aja dong Perkumpulan The Idiotic People Walking On Earth, Secara membernya makin banyak pula. Sintiiing.

Tiba - tiba teringat dengan Nurani. Wah, udah lama banget saya gak menyapa Nurani, jadi malu sama diri sendiri. Setelah semua urusan di kampus selesai, saya mencoba mencari waktu dan tempat yang tepat untuk berkontemplasi; merenung. Karena bagi saya merenung adalah gerbang sekaligus jalan setapak menuju tempat Nurani berada. Saya tiba di sana, tempat Nurani bersemayam. Sepi, kosong, pengap, bahkan cukup berdebu, seperti sudah lama tidak ditempati. Saya berpikir, kemana perginya Nurani? Bila memang sudah pergi sejak lama, kenapa Nurani tidak pernah memberitahukan saya? Saya mencari ke sekeliling tempat nurani bersemayam. Nihil, gak ada hasil. Nurani gak ada disitu. Nurani pergi. Tapi kemana? Saya mencoba mencari tau dan bertanya - tanya kepada akal, kepada pikiran logis, kepada intuisi, bahkan saya bertanya kepada Nafsu. Kesemuanya mengatakan Nurani memang telah pergi. Kata mereka, terakhir kali Nurani pergi Nurani terlihat sangat payah, sangat sakit, seperti sedang sekarat. Nurani berpesan bila ada yang mencarinya, tolong katakan bahwa Nurani sedang ingin beristirahat dan mencari ketenangan. Wah, ternyata Nurani pun perlu ketenangan. Lalu Nurani juga berkata bahwa Ia sudah tidak kuat lagi untuk tinggal di tempat ini. Gak seindah dulu katanya, terlalu banyak gangguan, terlalu banyak tekanan, tidak sehat hingga Ia akhirnya jatuh sakit dan tidak berdaya. Namun tidak ada satupun yang tau kemana Nurani pergi. Saya sedih, bingung. Kemana saya harus mencari Nurani. Akhirnya saya berpikir untuk meninggalkan pesan untuk Nurani bila Ia kembali. Hanya sepucuk surat sih, tapi mudah - mudahan saja dibaca oleh Nurani dan Nurani tidak akan pergi lagi.


Surat Cinta Untuk Nurani

Nurani ... Kamu dimana? Aku datang namun kamu pergi
Nurani ... Aku sadar bahwa berkali - kali aku membuat kamu terluka, namun aku tidak pernah perduli
Berkali - kali aku berbohong sama kamu, namun gak sekalipun aku sadar dan berusaha untuk jujur
Berkali - kali juga kamu menasihati aku dengan bahasamu yang ramah dan sopan, namun aku selalu membalas dengan hardikan, cacian dan makian
Aku bilang kamu norak, kampungan, udik, gak modern, tapi kamu selalu sabar dan tersenyum
Nurani ... kamu selalu ada untuk aku, namun aku selalu tidak memperdulikan Mu
Tapi kamu selalu setia dan berharap dan menunggu aku
Aku selalu berpikir bahwa aku gak akan pernah butuh kamu
Egois, sok jago, sok macho, sok kuat, sok tegar
Padahal cengengnya bukan main

Sekarang ... aku butuh kamu Nurani. AKu ingin mencoba untuk perduli, mencoba untuk jujur, mencoba untuk mendengarkan, mencoba untuk kembali karena memang aku butuh
Bahkan, saat ini aku ingin menangis di pangkuanmu Nurani ... Aku ingin mengadu atas segala kegelisahan yang sudah lama ada dalam dada, menggantung berat di kepala
Aku butuh kamu Nurani. Tapi sekarang kamu dimana. Aku sudah mencari kamu, tapi tetap tidak ketemu
Aku bahkan berteriak ... memanggil - manggil namamu, tapi tetap tidak ada tanggapan
Tolong kembali Nurani, aku butuh kamu, banyak yang butuh kamu
Tolong kembali Nurani , tidak hanya untuk sekarang, tapi untuk selamanya


Saya baca kembali surat itu. Gombal, norak, murahan. Bodo amat, itu memang ekspresi Saya. Saya memang benar - benar butuh dengan Nurani, dan sangat sedih begitu tau bahwa Nurani sudah pergi. Terpaksa saya kembali dengan tangan hampa. Dengan hati gundah. Saya tinggalkan surat cinta saya untuk Nurani di tempat Ia sebelumnya berada.
Saya tersadar dari perenungan saya ... ada yang basah. Saya melihat ke atas. Atap gak bocor, di luar pun tidak hujan. Ternyata air tersebut datang dari mata saya. Sejenak, rasa hangat hinggap di dalam dada. Wah ... ada sedikit rasa lega, plong. Membuat saya tersenyum. Tiba - tiba saya tersadar, apakah nurani telah kembali? Apakah Ia membaca pesan saya? Saya ingin memastikan dan ingin kembali. Tapi saya berpikir, bilapun Nurani telah kembali, mungkin Nurani masih belum ingin bertemu saya. Tapi pastinya Nurani tidak akan melupakan saya. Dia pasti perduli dengan saya.

Sudah sore, dan gak terburu - buru pulang. Namun langkah kaki ini terasa begitu cepat melangkah. Terasa ringan, enteng. Saya hanya tersenyum. Gak tau kenapa, tapi sepertinya ini pertanda bahwa nurani - paling tidak - sempat singgah sebentar. Senangnya. Nurani ... jangan pergi lagi yaa.